Mama, Kau dimana?
Sembilan tahun sudah, mama pergi bersama tsunami. Ia
pergi tanpa jejak. Tak tau arah, tak ada bekas tapak kakinya dan angin tak
pernah membawa kabar tentangnya. Hal itu
terkadang membuat aku terusik untuk terus mencari dimana keberadaannya. Banyak
kisah yang kudengar misterius mengenai kejadian sakral 26 Desember 2004 itu.
Aku tetap berimajinasi sendiri, bahwa mama juga demikian.
Bahwa mama masih ada. Bahkan hingga kini, terkadang aku berkhayal kalau suatu
saat mama akan datang kembali. Kami kembali hidup bersama, seperti dulu. Mama
akan datang kepadaku, mengintari kehidupan. Bahkan aku berfikir mama akan
datang nanti, disaat aku telah membuktikan kepada dunia, kalau aku adalah
seorang anak yang dapat membuat ibunya bangga. Kata sukses telah kudapatkan.
Tapi, ayah selalu berkata bahwa itu mustahil. Mama telah
tiada, dan tak akan kembali lagi sampai kapanpun. Aku sebagai anak, harus
menerima kenyataan yang telah digariskan tuhan. “Udah berdoa aja, nanti kamu
juga akan bertemu lagi dengan mama suatu saat disurga,” Selalu kata-kata itu
yang di lontarkan dari mulut ayah.
Aku hanya diam seribu bahasa, ketika semua itu telah ia
katakan. Namun, tak bisa mengelak bahwa hati kecil masih sangat mengharapkan
keajaiban datang membawa mama. Bukankah kita, tak pernah tau kuasa tuhan? Kita
tak bisa menggubah kenyataan, namun, aku masih yakin Tuhan bisa menggubah
kenyataan yang ada didalam kehidupan.
Hal yang sangat membuat aku sempat terkejut, ketika aku
berjumpa dengan orang yang sangat mirip dengan mama, bahkan tak hanya sekali.
Ada beberapa kali aku bertemu dengan orang yang memiliki wajah serupa dengan
mama. Dan hal itu membuat aku semakin yakin, bahwa mama masih ada. Meski aku
sendiri tak tau keberadaannya.
Pernah suatu waktu, aku berada dipusat perbelanjaan
terbesar di kota kelahiranku. Yang biasa disebut Pasar Aceh. Aku tak punya
tujuan untuk berbelanja disini, meski ini pusat perbelanjaan. Aku hanya datang
dengan tujuan mencari berita, ketika itu aku masih bekerja di salah satu media
portal di Banda Aceh.
Pusing-pusing tak tau mencari berita mengenai apa, aku
duduk di kursi salah satu pertokoan yang menjual bakal baju. Lirik sana sini,
tiba-tiba ada yang menarik perhatianku. Itu bukan bakal berita yang akan aku
tulis. Itu juga bukan sebuah toko yang menarik minatku untuk berbelanja
keperluan pribadi disana.
Tapi, aku melihat seseorang. Aku ingat sekali, wanita itu
berdiri di seberang aku duduk. Berpakaian blus merah hati dan penutup kepala
cream. Dia sedang tersenyum kepada seorang balita. Senyumannya tak asing bagiku. Ia mirip
seseorang, yang sepertinya sangat dekat. Dekat sekali. Ya dia mirip mama. Meski
aku sudah sembilan tahun tak melihat mama. Tapi aku masih sangat ingat
karakteristik tubuhnya bahkan garis-garis wajahnya.
Aku bangkit dari kursi, mulai ku ikuti langkahnya. Aku
berfikir, siapa tau wanita itu adalah mama. Tapi dia tidak ingat lagi dengan
aku, atau ia terkena penyakit. Amnesia atau apa sejenisnya. Semua itu terus
mengusikku untuk mengikutinya. Setelah beberapa menit mengikutinya, dia masuk
ke salah satu toko penjual pakaian balita.
Aku pun ikut masuk. Setidaknya aku bisa melihat wajahnya
dari dekat, meski tak bisa menyentuhnya. Aku berdiri tepat disampingnya, aku
berlagak membeli pakaian balita juga. Saat ini aku begitu dekat dengannya.
Tinggi badanku dan tinggi badannya hampir sama. Oh, aku tak menyangka. Ketika ia
meninggalkanku sembilan tahun lalu, tinggiku hanya sepinggangnya saja.
Aku meliriknya dan tersenyum. Ia membalas senyumanku.
“Cari apa ya kak?” Seorang penjaga toko, menghampiriku.
“Eum, pakaian balita kak. Baru lahir ya,” Jawabku asal.
Tidak sedikitpun aku palingkan wajahku untuk melihat wanita itu.
“Laki-laki atau perempuan?”
“Perempuan boleh, laki-laki boleh kak,” aku kembali
menjawab asal.
Ternyata wanita yang berdiri disampingku, menoleh
kearahku, ia masih tersenyum.
“Cari baju buat siapa dek,?”
“Eum, buat ponaan buk. Baru lahir kemaren lusa, Perempuan”
“Oh, meskipun baru lahir. Tetap harus ditentukan jenis
kelaminnya dalam membeli baju,” katanya, sambil memilih pakaian untuk anaknya.
“hehe. Oh iya buk. Saya juga binggung. Ini anak ibu yang
ke berapa buk?” rasa ingin tahu sangat besar pada diriku.
“Iya, anak saya pertama. Yang ini bagus dek untuk anak
baru lahir,” ia masih tersenyum. Senyuman yang mirip sekali dengan mama. Tapi
sayang, dia tetap bukan mama. Hanya auranya saja yang sama. Tapi, aku tidak
bisa merasakan batiniah yang membuat aku percaya bahwa ia mama.
Setelah membayar baju balita itu. Aku masih terus
mengikutinya, aku berusaha untuk bertegur sapa dengan anaknya. Aku tak ingin
berlama-lama disana, karena aku sudah menyadari bukan dia yang kucari. Karena
dia bukan mama.
“Saya pulang dulu ibu, terima kasih sudah memilihkan baju
balita buat saya,” jawabku.
Sekarang aku percaya, kalau setiap manusia itu memiliki
tujuh kembaran di muka bumi ini, salah satunya adalah ibu yang kutemui dipusat
perbelanjaan hari itu. Sungguh wajahnya menginggatkanku akan sosok mama.
Mama, kau dimana?
Note : Tulisan ini ikut serta dalam lomba blog FLP-Aceh, dengan tema "Pena Kami Tidak Puasa"
6 komentar:
yang sabar ya dara, tuhan ada maksud tersendiri dibalik kejadian tersebut ..
tetap semangat, jadi penulis terkenal.. aq mau liat suatu saat nama dara ada di cover novel..
aq bacanya hampir nangis, bahkan udah nangis dikit .. hehehe :D
Galau lom.. gak ada yang gak mungkin ra ::D
Kita pasti akan bertemu mereka, saya selalu yakin itu.. :')
Daraaaa.....
sabar yaaa... :'(
Perbanyaklah berdoa dara
ia insyaallah akan selalu dalam kesabaran dan doa. Gak tau kenapa pengen nulis kejadian itu, tapi tadi pas mau nulis genrenya jadi sedih. Padahal kalau dibuat cerita lucu bisa juga. sebab, betul2 kayak penguntit hari itu :)
Terima kasih kepada teman-teman yang sudah membacanya, bahkan juga meninggalkan jejak. Ini hanya sepenggal kisah saya. Mungkin dapat menjadi pelajaran dari hikmah yang tercantum secara tersirat di tulisan ini.
Posting Komentar