“Mamaaa,.. aku takut, gak mau dilepas, ayo tuntun aku bersepeda,” teriakku
histeris ketika mama mulai melepaskan genggamannya dari sepedaku. Sudah sepekan
ini aku belajar mengayuh sepeda, ayah membelikanku sepeda baru, berwarna merah
jambu dan memiliki keranjang didepannya. Sepedaku rodanya tiga. Baru kali ini
aku naik sepeda, biasanya aku hanya duduk dibelakang dan membiarkan kakak atau
abang sepupuku untuk mengayuh sepeda dan membawaku pergi menyusuri jalan.
Aku senang sudah ada sepeda baru, aku juga sangat ingin bisa
mengayuh sepeda sendiri. Tanpa harus duduk dibangku belakang selalu. Tapi,
dalam sepekan ini aku belajar sepeda bersama mama selalu saja merasa takut. Aku
merasa belum seimbang, aku takut ketinggian dan aku takut jatuh. Mama, sangat
sabar mengajarku. Setiap sore, sebelum petang datang. Kami bersepeda di halaman
depan rumah.
“Tidak apa-apa sayang, yakinlah adek tidak akan jatuh. Sepedanya
kan punya roda tiga, Ayo semangat. Mama tunggu di depan sana ya, “ ujar
mama sambil memberikan segaris senyum di wajahnya, mama pergi beberapa langkah
dariku. Kini ia sudah berada beberapa
langkah didepanku, dari kejauhan ia menepuk tangan sambil menyorakkan kata-kata
semangat kepadaku.
Dengan semangat itulah, aku berani mengayuh sepeda. Sambil terus
melihat kedepan. Perlahan demi perlahan aku semakin bisa menjangkau mama. Dan
sekarang aku sudah berada tepat dihadapannya. “Yee, Horee. Aku sudah bisa
mengayuh sepeda sendiri,” Aku bersorak gembira, mama tersenyum melihatku. Dan
ia melayangkan sebuah kecupan di keningku. Aku suka itu, setiap kali aku
berhasil membuat sesuatu dengan semangat. Mama pasti akan menciumku, kata mama
itu merupakan tanda bahwa ia bangga kepadaku.
Mama selalu saja memberiku semangat, bahkan ia selalu saja memulai
kata semangat itu dengan kata ‘Tunggu’. “Anak yang pintar harus rajin
sekolah, ayo bangun. Mama tunggu didepan ya,” kalimat itu yang keluar
ketika aku sudah jenuh dengan rutinitas sekolahku. Bahkan mama sering
mengatakan, “Mama tunggu ya, kapan adek bisa dapat peringkat dikelas,”
Kata ‘tunggu’ itu menjadi sebuah tali penyebar semangat bagiku. Aku
merasa bahwa kata ‘tunggu’ itu merupakan sebuah tantangan dari mama, dan
diujung tantangan itu mama selalu membuat kejutan khusus untukku. Terkadang aku
tak berharap banyak, aku hanya menginginkan kecupannya di kening. Itu saja
sudah cukup.
Perlahan dengan tularan semangat darinya, aku jadi terbiasa untuk
menjalani semua tantangan seorang diri. Ya. Mama perlahan-lahan telah
menggubahku untuk tidak menjadi anak yang cenggeng, menggubahku untuk menjadi
anak yang mandiri. Bahkan mama mengenalkanku sejak dini mengenai tanggung jawab
atas perbuatan yang sudah kuperbuat.
***
Suatu pagi, mama sedang memasak didapur. Ketika itu aku baru saja
bangun tidur, ketika melihat rutinitas memasak mama setiap pagi. Aku ingin
sekali membantunya. Tapi, mama selalu saja berkata, “Nanti saja, kalau adek
sudah besar baru bantu mama didapur,”. Tapi, aku tetap saja bersi keras untuk
membantunya.
Aku membuka kulkas, dan aku mengambil telur. Telur yang kuambil
seketika pecah ditanganku, sebelum sampai ke tangan mama. Mungkin karena saat itu aku terlalu kuat
mengenggam telur itu, sehingga telurnya pecah. Mama tidak berbicara sepatah
katapun kepadaku, aku melihat wajah mama masih tenang. Tapi, aku merasa takut.
Aku bergegas lari ke kamar mandi. Mencuci tanganku pakai sabun. Akupun lantas
ingin membersihkan lantai tempat telur yang kupecahkan tadi. Tapi, mama
melarangnya. “Sudah, tunggu saja dikursi itu. Biar mama yang
membereskannya,” Ia tidak sedikitpun memarahiku, bahkan untuk sekedar menaikkan
suara saja tidak pernah. Tapi, ia menimbulkan kesan dingin. Sehingga membuatku,
berintropeksi sendiri mengenai kesalahan yang telah kuperbuat.
Mama, tak pernah jauh dari kata ‘Tunggu’. Ketika aku
berangkat sekolah, mama berkata “Tunggu, sampai mama jemput ya. Jangan
kemana-mana,”. Ketika aku sedang di suatu tempat dan hujan datang, mama juga
selalu berkata,”tunggu saja, sampai mama kembali,” Bagiku, kata ‘tunggu’
yang mama ucapkan sangat bermakna. Ketika mama sudah mengucapkan kata ‘tunggu’
aku yakin mama pasti kembali, karena itu aku tak boleh bosan menunggunya.
***
Tetapi, aku pernah suatu
kali tertipu dengan kata ‘tunggu’ yang diucapkan oleh mama. Aku ingat
hari itu, ketika matahari baru bersinar dan ketika matahari belum mengeluarkan
teriknya. Minggu, 26 Desember 2004. Pagi itu, mama meninggalkan rutinitas
memasaknya setiap pagi. Ia pergi kepasar untuk berbelanja sarapan. Aku dibiarkannya
tinggal bersama ayah dirumah. Setelah setengah jam mama pergi ke pasar, bumi bergoyang kencang. Gempa
besar membuat rumah kami pun ikut bergoyang seperti ayunan dengan skala tinggi.
Aku dibawa lari oleh ayah keluar rumah, menuju lapangan. Ayah tak
berhenti untuk beristigfar, dan terus memelukku. Aku ingat mama yang masih
dijalan, Ayah hanya berkata “Tenang saja, mama tidak apa-apa. Sebentar lagi
akan pulang,” Aku percaya itu, tak lama setelah gempa usai mama pulang. Ketika
mama pulang, ia langsung menyiumku dikening. Mama menyuruhku sarapan, katanya
agar aku kuat dan sehat.
Bahkan karena itu, aku menyantap sarapan dengan lahap dan menambah
porsi makanku menjadi dua kali. “Nanti, kita adu kuat lari ya ma,” ujarku
sambil tertawa. Lagi-lagi mama hanya tersenyum mendengar ucapanku. Setelah
sarapan, aku berlari mengambil sepeda. Berencana untuk sekedar mengayuhnya di
sekeliling rumah. Dari kejauhan, tampak begitu banyak orang berlarian.
Aku bergegas mencari mama, “Maa, banyak orang diluar ikut lomba
lari” Kataku begitu polos saat itu. Mama bergegas keluar, ternyata seluruh
orang yang juga mengajak kami untuk
berlari. “Laariii..Larrii. Air laut naikk. Cepat,” Teriakkan para warga sambil
terus berlari membawa anak-anaknya.
Aku masih tercengang, begitu juga mama dan ayah. Mama tidak
percaya, “Bagaimana bisa air laut naik ke darat sejauh ini?” Tanya mama kepada
ayah saat itu. Ayah, tak menjawab apa-apa ia hanya menarik tanganku dan tangan
mama kearah warga yang sedang berlarian. Kami terbawa arus orang-orang yang
sedang berlarian.
Ditengah pelarian, mama memutar balik arus lari kami. Mama melempar
pertanyaan kepada ayah, “Bagaimana kalau kita lari naik sepeda motor saja?” Tanya
mama dibalik keramaian orang ramai. Ayah tidak setuju dengan ajakan mama, “kita
tidak bisa menerobos warga yang berlarian ini. Bahkan akan memperlambat lari
kita, jika kita menggunakan sepeda motor,” jelas ayah setengah berteriak.
Baru pertama kali aku melihat Ayah dan Mama tak sepaham, mama tetap
bersi keras untuk menggunakan sepeda motor. Ketika ia melihat aku, yang sangat
kebinggungan. Ia mulai mengusap kepalaku dan memberi kecupan dikeningku.
“ Sayang, sekarang lari ikut arus orang-orang yang berlarian. Dan tunggu
mama di depan simpang jalan ya, nak. Jangan takut, tunggu saja disana
sampai mama dan ayah kesana yaa,” mama terus menatapku, mungkin ia menunggu
kepastian agar aku mengangguk. Aku pun menganggukkan kepala, aku berlari sekuat
tenaga. Agar sampai pada simpang jalan yang mama maksud. Aku akan tunggu dia
disana.
Saat itu, aku yakin kata ‘tunggu’ itu benar-benar membuahkan
hasil. Asalkan aku mau bersabar.
***
Orang semakin banyak yang berlarian, saat itu aku buta arah. Aku
kelelahan, tapi aku masih punya semangat untuk sampai pada tempat yang telah
mama katakan tadi. Dan akhirnya aku sampai, aku menunggu mama disimpang ini.
Tak lama, ketika aku lihat kebelakang. Ada gelombang besar berwarna hitam
berdiri disana. Itu tepat disisi rumahku.
“Kenaapa kamu bengong disini, ayo lari. Air bah yang hitam itu akan
kesini,” Seorang laki-laki datang menolakku dari belakang, ia seperti
terburu-buru. Hawa ketakutan, tampak jelas diraut wajahnya.
Perlahan aku tergeser ke bahagian depan jalan, aku tak berniat lari
sedikitpun. Meski aku takut melihat gelombang raksasa itu. Aku ingat, perkataan
mama tadi untuk tetap menyuruhku menunggu disini. Di persimpangan jalan. Tetapi,
mengapa mama belum juga muncul didepanku. Mana mama? Aku sangat takut, perlahan
air itu mulai mendekat.
Aku pun berlari, dan “Awwwaasss,” teriak seorang laki-laki.
Ternyata sebatang tiang listrik yang sangat tinggi jatuh menutup badan jalan,
dan kakiku tersangkut dibawahnya. Rasa takut tambah besar menyelimuti hatiku,
aku berharap saat ini akan ada mama yang datang untuk membantuku.
Tiba-tiba, seorang laki-laki paruh baya membantuku untuk lepas dari
beratnya beban tiang listrik. Tanganku digenggamnya, dan ia bawa lari. Kakiku
bercucur darah, aku menangis. Menjerit sejadi-jadinya.
Aku menangis karena aku telah mengikari janjiku untuk menunggu mama disana. Di
tempat yang telah kami sepakati. “Lepasskan aku paman, aku mau menunggu mamaku
disana. Ia menyuruhku untuk menunggu di persimpangan jalan itu,” Aku
memberontak, akhirnya tanganku dilepaskan oleh laki-laki itu.
“Sudahlah nak, jangan kesana lagi. Mamamu sudah dimakan oleh
gelombang hitam itu, sangat bahaya kalau kamu kembali kesana lagi,” Ujar lelaki
paruh baya itu kepadaku. Kurasa, ia sangat iba melihatku.
Aku serba salah. Aku merasa sangat bersalah, kenapa aku tidak
berhasil menunggu mama hari itu? Kenapa aku tidak memiliki kesabaran yang cukup
untuk menunggu mama? Biasanya saja aku sangat sabar menunggu mama sampai ia
datang. Lantas, kenapa mama dan ayah belum juga hadir ketika aku sudah menunggu
mereka di persimpangan jalan tadi? Mengapa mama tidak datang menolongku ketika
kakiku terjerat oleh tiang listrik?
Pertanyaan demi pertanyaan menghampiriku, aku sangat kacau. Aku
tetap menunggu mama, pada persimpangan jalan yang lain. Jalan yang dapat
dilalui tanpa bisa dilalui oleh air bah raksasa tadi.
Dua hari dua malam, aku menunggu mama disana. Dibawah pohon pinang,
dipersimpangan jalan dan didepan kantor Pemadam Kebakaran. Ada banyak mobil
yang menawarkan tumpangan kepadaku, namun tak sedikitpun aku hiraukan. “Aku
masih mau menunggu mama disini, aku yakin ia tak akan membohongiku. Ia akan
hadir disini, untuk menemuiku. Aku percaya itu,” kata-kata itu yang aku ucapkan
ketika orang-orang melewatiku untuk menawarkan tumpangannya.
Mama, kemana dirimu? Aku sudah menunggumu disini, hingga hari ini
tepat Sembilan tahun kejadian itu. Mama juga tak pernah menepati janji
terakhirnya itu, untuk menyusulku dipersimpangan jalan. Mama, aku masih
menunggumu.
Based on true story : Gempa dan Tsunami Aceh --- 26 Desember 2004
--- 08.45 wib
2 komentar:
hiksss,... sabar ya Daraa..
:) insyaallah akan selalu bang Ferhat
Posting Komentar