“Apaaa, besok kita ulangan matematika?” kataku sambil setengah
menjerit kepada lawan bicara di handphoneku. Tak sadar aku langsung menepuk
dahiku. Rasanya, tak ingin hari senin
itu ada. Yang benar saja setelah kelelahan berdiri upacara rutin, baju
basah berkeringat akibat teriknya matahari. Selesai dari itu, langsung masuk ke
kelas dengan mata pelajaran paling menegangkan sejagat raya.
Berharap untuk dapat jimat atau ilham apa, aku terus berusaha
membolak-balik catatan matematika. Hingga kertas bukuku terasa makin tipis,
sudah berapa kertas kucoba cari jalan tengah dari soal Logaritma dan terakhir
sia-sia juga, aku harus membuat tanda silang berukuran jumbo diatas jawabanku.
Ya. Jawabannya salah.
Jarum jam sudah menunjukkan angka dua dini hari, aku pun mengambil
keputusan untuk tidur. Dan berjanji pada alarm, untuk bangun pukul lima nanti,
ya apa lagi kalau bukan mencoba menghafal rumus-rumus matematika yang banyaknya
Subhanallah. Biasanya, untuk melewati hari sakral ulangan atau ujian matematika
adalah dengan cara menghafal rumus demi rumus.
Memang sih, itu bukan cara yang ampuh untuk menjawab soal
matematika. Cara menghafal bakal ampuh jika digunakan untuk mata pelajaran
sosial, yang butuh otak kanan untuk menghafal. Tapi, itulah cara yang salah
tapi tetap saja aku gunakan. Alhasil, ujian demi ujian matematika aku lewati dengan
begitu saja. Intinya nilai matematika sudah lewat standarnya saja sudah cukup.
Nilai matematikaku tak pernah mencapai angka delapan, selalu di
ujung tanduk. Jika nilai standar kelulusan studinya 65, aku hanya berhasil
mendapatkan 72 atau bahkan pernah mendapat 62, kurang tiga angka saja sudah
harus ikut remedial.
***
“Tett..tettt.tettt..” suara bunyi bel tanda masuk jam pertama mata
pelajaran pun berdering kencang.
Jantungku berdetak kencang, baju putih abu-abuku dibasahi keringat
dingin, tanganku bergetar tak menentu. Oh Tuhan, dari kejauhan guru kiler sudah
mulai mendekat ke kelas. Semua kerumunan siswa di luar mulai masuk dan memenuhi
ruangan. Buk Susi yang terkenal kiler dengan mata pelajaran yang tak kalah
bikin bulu kuduk merinding, mulai duduk di meja guru.
“Keluarkan kertas selembar, kumpulkan tas didepan kelas, tidak ada
barang lain diatas meja kecuali kertas ulangan, kertas cari-cari dan satu buah
pulpen,” Suara cetar membahana sang guru matematika mulai mengemparkan seisi
kelas saat itu.
Aku mulai mencoba tidak gemetaran dan tidak takut, jika tidak rumus
yang sudah kuhafalkan tadi subuh akan hilang sia-sia dari otakku. Aku mulai
menuliskan apa yang dituliskan oleh buk Susi di papan tulis. Tidak sedikit,
teman-teman sekelas yang mengeluarkan catatan dari bawah laci meja di sela-sela
buk Susi sedang tidak memantau.
Soal yang diberi hanya lima soal, tapi masing-masing nomor,
memiliki masing-masing lima anak soal. Berapakah semuanya? Ah, buat aku mumet
dalam menjawab. Kenapa di matematika harus ada LOGARITMA? Padahal inti dari
mata pelajaran yang sangat membosankan ini adalah penambahan, pengurangan,
perkalian dan pembagian. Itu saja sudah cukup bukan untuk kehidupan ini ?
Soal pertama sampai soal nomor tiga sudah ku isi semampuku, tapi
memasuki soal nomor empat. Ada sesuatu yang menganjal, GILAA, aku lupa rumus
ini. Turunannya juga aku tak mengerti. Ini kan soal yang lumayan rumit, udah
pakai pecahan decimal pakai logaritma, pakai kuadratnya lagi disetiap angka.
Ah, mati aja deh, ngisi nie soal.
Aku sesekali menjerit kecil dalam hati, dan berdesah berat tanpa
mengeluarkan suara. Gila aja kalau bersuara di kelas saat ini, bisa jadi di bom
mendadak layaknya teroris. Aku nyerah, aku lupa bagaimana cara menjawab soal
yang satu ini. Aku berusaha untuk melihat kearah buk Susi, ternyata ia sedang
asyik dengan handphone nya. Ku palingkan wajahku ke kiri dan ke kanan berharap
ada dewa penyelamat atau doraemon yang membantuku.
“Daraa, sedang apa kamu?” Suara serak-serak basah ala buk susi,
membuat aku kembali ke soal. Ia pun mulai berdiri mendekatiku, aku berharap
untuk menit kesekiannya aku masih bisa bernafas. Sang guru, mendekat dan
melihat lembar jawaban ulangan logaritmaku. Ia mengangguk dan lantas segera
menggelengkan kepalanya. Memberikan soal kembali pada tempatnya, dan berkata
“Waktunya tinggal tujuh menit lagi ya,”
Ahh, sepertinya guru matematikaku itu mulai menyindirku. Apa yang
harus aku lakukan dengan waktu yang tersisa hanya tujuh menit lagi dan sisa
soal yang lantas masih sangat banyak untuk mendapatkan poin nilai standarr
kelulusan.
Aku berfikir keras, sampai-sampai membuat cacing dalam perut juga
ikut berdendang. Akupun mengambil kesimpulan, yang penting aku sudah menjawab
semampuku. Ah, itu saja cukup. Aku mulai menyelesaikan soal demi soal dengan
waktu yang tersisa. Di seberang tempat duduk, ada teman yang sudah selesai. Dia
mengkodeku, berniat ingin menologku dari maut Logaritma yang luar biasa bisa
membuatku keracunan.
“Ini ya, jawabannya di kertas yang kutendang ini. Ambillah. Itu
jawabannya semua,” jelas teman yang sedari tadi duduk di seberangku. Perlahan
aku mengucap rasa syukur, ada seseorang yang membantuku menjawab soal ini.
Perlahan kuberanikan diri untuk mengambil
kertas yang sudah berada disisi kakiku itu, ku mainkan siku tanganku
untuk menjatuhkan penghapus.
Penghapuspun terjatuh, dan aku mulai mengambil penghapus dan kertas
yang dilempar tadi. Kubuka perlahan. Ada beberapa angka dan logaritmanya
disana, ditulis secara acak. Aku mulai menulisnya dengan kecepatan tinggi pada
kertas jawaban. Menginggat waktu sudah hampir memasuki finis. Oh Tuhan, aku
mohon izinmu untuk melihat kertas yang bukan milikku ini.
“Waktu habis, silahkan kumpul kertas ulangan kalian dalam hitungan
satu sampai tiga,” jelas guru matematikaku, tak lain adalah Buk Susi. Guru yang
memiliki paras cantik dan tubuh langsing ini begitu tegas dengan suara khasnya
yang berat dan nyaring.
Aku mengumpulkan lembaran jawabannya, menarik nafas panjang.
Akhirnya aku lega juga. Dengan senyuman, aku menemui teman yang baru saja
membantuku menjawab soal.
“Hei dit, makasih ya jawabannya tadi. Sangat membantu,” ucapku
sambil tersenyum kepada lelaki yang memiliki tubuh tinggi semampai ini.
Sekejab wajah lelaki yang memiliki kulit kuning langsat itu,
tertegun diam. Wajahnya berubah, tidak tersenyum. Tapi, berubah menjadi merasa
bersalah. “Dara, maaf ya. Tadi aku salah melempar kertas untukmu. Karena
terlalu terburu-buru, aku melempar kertas yang jawabannya salah. Jawaban yang
benar ada disini,” ucap Adit sambil menunjukkan selembar kertas dengan tulisan
yang sangat rapi. Beda dengan kertas yang aku dapat tadi, tulisan dikertas itu
begitu tak beraturan.
Perlahan wajah senyumku berubah, menjadi murung dan binggung. Oh
Tuhan, apakah ini karma? Karena aku tak jawab semampu otakku. Aku berusaha
menenangkan hati Adit, walau bagaimanapun dia telah berbaik hati memberikanku
jawabannya. “Tidak apa-apa, yang penting aku sudah mengisinya. Setidaknya
lembar jawabanku tidak kosong,” aku tersenyum, sambil menepuk pundaknya.
Aku membalikkan badan, dan menepuk dahiku. Apa ini hanya mimpi? Ya
Allah, bagaimana dengan nilai ulangan Logaritmaku? Ahh, benar-benar Logaritma
ini membunuhku. Sungguh, membunuhku.[]
Tulisan ini, adalah Tulisan pada Antologi Pertama saya 'Aku dan Matematika' yang terbit pada February 2014.
2 komentar:
Hehehe Aku senang baca tulisan ini, Saya jadi teringat setiap hendak ujian matematika, pasti stress dan pasti nyontek punya teman hahaha, nice dara bernuansa menghibur :)
Alhamdulillah, syukur kalau senang bacanya bang :)
Tulisan ini di buku kan di antologi, Aku dan matematika :D
Posting Komentar