Ayah dan Bunda |
Sungguh
terkejut ketika sepulang sekolah kudapati perempuan itu di kamarku. Yang
herannya aku, dia menangis tersedu-sedu. Awalnya aku hampir saja marah, karna
dia telah begitu berani masuk ke dalam kamarku, duduk di meja belajar bahkan
berani membuka buku harian dan album foto almarhumah Mama. Tapi aku urungkan
niatku untuk memarahinya, karna ia telah menangis sejadi jadinya.
Ketika
melihatku masuk, dia langsung keluar kamar. Pergi ke kamar dia bersama Ayah,
dan dengan seketika masuk pesan ke dalam handphoneku.
------
Ra, sabar ya nak. Bunda tau gimana
perasaan Dara gak ada lagi Mama, sekarang kan udah ada Bunda disini. Jangan
sungkan kalau perlu apa-apa. Anggap aja ini Mama, walaupun di tulisan dara
tidak ada seorangpun yang bisa menggantikan Mama, ------
Untuk
kesekian kalinya aku terheran, benar-benar terheran. Jujur saja, saat itu aku
belum terlampau mengenalnya. Padahal dia adalah ibu tiri ku, sudah genap dua
bulan Ayah menikah dengan perempuan itu. Aku panggil dia Bunda.
Itu
sepenggal kejadian sewaktu aku masih duduk di kelas 2 SMA, usiaku saat itu 16
tahun. Mulai sejak itu, aku merasa nyaman. Meskipun kami sama-sama tau kalau
kami tidak punya ikatan apa-apa. Tapi, Bunda sudah terlalu bisa membuat aku
pribadi merasa nyaman. Kami sering bertukar pendapat, sering bercerita, curhat
dari hati ke hati. Bahkan jika satu sama
lain tak suka, kami tidak menampakkannya dengan cara bersikap tak wajar.
Paling, hanya diam saja. Atau pergi sebentar untuk menenangkan diri.
Bahkan
terkadang Bunda adalah salah seorang yang mampu menyampaikan pesan tersiratku
kepada ayah. Awalnya aku berfikir rasa nyaman ini hanya akan bertahan sampai
jika Bunda tidak memiliki anak. Dan jika nanti Bunda memiliki anak, dan itu
adalah adikku mungkin aku akan di nomer kesekiankan. Atau bahkan aku hanya
butiran debu, yang terbang begitu saja tanpa dihiraukan sama sekali.
Ternyata
aku salah. Lahirnya adik laki-laki pertamaku, tidak mengurangi rasa perhatian
bahkan rasa sayangnya kepadaku. Kami masih sama-sama melakukan yang senang kami
lakukan. Makan bakso, menanam bunga, nonton DVD India yang kami putar
berulang-ulang, buat kue bawang bersama. Lambat laun rasanya yang sebelumnya
tak pernah ada, yang sebelumnya hanya menganggapnya orang lain yang masuk pada
kehidupanku. Bahkan pelan-pelan aku menyukainya, aku menyukai masakan ala
kadarnya, telur rebus mentah, nasi goreng apa adanya, kuah sop jadi-jadian,
ikan goreng gosong. Lama-lama aku suka cara dia yang mendahuluiku, terkadang
bersikap seperti sebenar-benarnya Mama yang, memaksaku membuka baju seragam
sekolah ketika memilih untuk nonton TV dulu, memaksaku menghabiskan segelas
susu walaupun jam sekolah sudah sangat telat, mengucapkan ulang tahun disetiap
tahun, berusaha untuk tidak membedakan antara aku dengan anak kandungnya.
Ia
dia Bunda, yang dulunya orang asing di kehidupan, yang dulunya aku hanya anggap
dia sebatas istri Ayah, dia yang disebut orang-orang adalah ibu tiriku, yang
setiap orang pasti menanyakan bagaimana punya ibu tiri seperti dia ?
Dan,
Percayalah
aku sayang padanya, aku mencintainya. Kini dia masuk sebagai orang yang sangat
kusayang dalam hidup ini setelah Mama dan Ayah. Aku sama sekali tidak
menganggap dia sebagai ibu tiri. Dia adalah Bunda.
Begitupun
dia, pernah suatu kali kami pergi ke pasar berdua saja. Sesampai di pasar, Bunda
pergi ke sebuah toko yang menjual baju seusiaku. Pertama aku tidak menyangka
dia akan membelikan aku baju baru, memang ketika itu lebaran tinggal menghitung
hari. Si yang punya toko bertanya, untuk siapa bajunya. Dengan begitu jelas dia
jawab “Untuk anak gadis saya ini” sambil menunjuk kearahku.
Rasanya,
luaaaar biaaaasaaa. Aku saja tidak pernah menyebutkan kata Mama untuknya, padahal
anaknya sendiri memanggil Mama. Tapi dia memanggilku anak. Rasanya tidak bisa
di lukiskan. Dan dia juga sering menyebutkan aku ketika sedang bercerita pada
teman-temannya dengan sebutan “Kakaknya orang nie” maksudnya kakak dari
anak-anaknya.
Terima
Kasih Ya Allah, telah menitipkan satu lagi perempuan yang membuat aku merasa
nyaman.
Terima
kasih Bunda J
mungkin ini jalannya agar kita
dipertemukan seperti ini. Ini separuh dari skenario, Allah mengambil Mama dan
menunjukmu untuk setidaknya mampu membuatku nyaman.
0 komentar:
Posting Komentar